Polemik yang mewarnai hasil verivikasi bakal calon (balon) Ketua Umum PSSI terus bermunculan. Ratusan pendukung Persatuan Sepakbola dan pengurus Komite Olahraga Nasional Indonesia atau KONI serta PSSI di beberapa kota berunjuk rasa menolak Nurdin Halid sebagai calon ketua umum PSSI periode 2011-2015.
Mereka berpendapat bahwa Nurdin telah mencoreng citra PSSI sebagai wadah olahraga yang paling populer di Indonesia. Bahkan, keterpurukan prestasi sepakbola diakibatkan dari pengurus PSSI yang tidak becus mengelola persepakbolaan di tanah air. Hal tersebut membuat masyarakat semakin tidak percaya. Sehingga pecinta Sepakbola tersebut mendesak PSSI untuk melaksanakan kongres secara fair, tanpa politik uang. Karena apabila tidak dilakukan, pertandingan perdana Pra Olimpiade 2012 antara tim nasional Indonesia melawan Turkmenistan di Palembang, Sumatra Selatan, terancam sepi penonton. Pasalnya, para suporter akan memboikot tidak mau menonton sebagai protes menolak Nurdin Halid kembali memimpin PSSI.
Sementara kelompok Save Our Soccer di Jakarta, juga meminta Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK menetapkan Nurdin Halid sebagai tersangka kasus korupsi. Dari catatan mereka, Nurdin diduga terlibat dua kasus korupsi. Ia diduga menerima Rp 500 juta dalam kasus pemilihan Miranda Swaray Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Dan dalam kasus Persatuan Sepakbola Samarinda, Nurdin juga diduga menerima Rp 100 juta dari Aidil Fitrio, mantan Manajer Persisam yang terbukti korupsi dana APBD untuk klub tersebut senilai Rp 1,7 miliar.
Untuk mensikapi kondisi ini, PSSI harus segera mengkoreksi hasil verifikasi pemilihan calon ketua umum PSSI periode 2011-2015 dan berpegangteguh pada aturan yang berlaku. Sebagaimana hasil Kongres Sepak Bola Nasional (KSN) di Malang pada tanggal 30-31 Maret 2010 butir rekomendasi, telah ditetapkan bahwa PSSI perlu segera melakukan reformasi dan restrukturisasi atas dasar usul, saran, kritik, dan harapan masyarakat, serta mengambil langkah-langkah konkrit sesuai aturan yang berlaku untuk mencapai prestasi yang diharapkan masyarakat.
Pihak PSSI harus berbesar hati menyadari bahwa ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan-undangan dan ketentuan yang berlaku dalam organisasi olahraga. Sebagaimana diatur dalam pasal 62 ART KOI (Komite Olimpiade Indonesia) disebutkan setiap anggota KOI harus memuat ketentuan yang menyatakan bahwa setiap anggota pengurus induk organisasi harus memuat persyaratan: “… ayat 2 tidak pernah tersangkut perkara pidana dan/atau dijatuhi hukuman penjara”. Peringatan ini tentunya ditujukan terhadap sosok Nurdin Halid yang dinyatakan lolos verivikasi oleh Komite Pemilihan. Padahal Nurdin memiliki masa lalu yang kelam karena pernah menghuni sel penjara dua kali dengan status penyelundup gula dan koruptor.
Selain itu, berdasarkan ketentuan standar Statuta FIFA tentang syarat calon Ketua Umum PSSI pada Pasal 32 ayat 4 dinyatakan “.. they shall have already been active in football, must not have been previously found guilty of criminal offense …“, yang terjemahan bahasa Indonesianya berbunyi bahwa mereka telah aktif dalam kegiatan sepakbola dan tidak pernah dinyatakan bersalah dalam tindak pidana …”.
“Statuta FIFA pasal 32 ayat 4 itu harus diartikan sebagaimana adanya dan tidak ditafsirkan secara sempit dan tendensius. Jika dalam pasal itu disebutkan calon ketua umum harus tidak pernah dinyatakan bersalah dalam tindak pidana, maka bakal calon yang lolos pun harus bersih. Bukan diartikan setelah menjalani hukuman lalu dianggap bersih”.
Dengan demikian untuk menghindari polemik yang berkepanjangan, pihak PSSI harus mematuhi dan segera mengambil tindakan konkrit. Karena apabila PSSI tidak tunduk dan mengabaikan ketentuan tersebut, maka sanksi administrasi yang meliputi peringatan: teguran tertulis, pembekuan izin sementara, pencabutan izin, pencabutan keputusan atas pengangkatan atau penunjukan, atau pemberhentian: pengurangan, penundaan, atau penghentian penyaluran dana bantuan: dan/atau kegiatan olahraga yang bersangkutan tidak diakui, harus diterima. Sebagaimana diatur dalam Pasal 122 UU No 3/2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional.
Pihak PSSI juga tidak bisa menapikkan realita yang berkembang saat ini, dimana harapan masyarakat ingin persepakbolaan Indonesia semakin maju dan diurus oleh orang-orang yang memiliki jiwa sportifitas tinggi dan bersih. Bukan sekedar memiliki kekuasaan ataupun dikaitkan dengan politik uang. Bila hal ini terus dibiarkan, “mau dibawa kemana persepakbolaan Indonesia!?”, bisa jadi persepakbolaan Indonesia akan kembali terpuruk bahkan semakin terpuruk dari kondisi sebelumnya.